Sabtu, 13 Desember 2014

Kadang-kadang?

Biar kehidupan anda gak bosen dan ga monoton, perlu juga disisipkan kosakata kadang-kadang. Mewakili kata sering atau jarang. Menjadi kata-kata netral untuk keduanya.

Kok netral?

Sering dan jarang kan menunjukkan frekuensi. Lebih kuantitatif lah dibanding kadang-kadang (yang agak ga jelas validitasnya).

Misalnya nih :
"saya sering makan"
"saya jarang makan"
"saya kadang-kadang makan"

Kalimat 1 bisa jadi artinya makan hampir menjadi kebiasaan.
Kalimat 2 bisa jadi artinya makan adalah bukan suatu prioritas.
Kalimat 3 tidak menunjukkan arti yang jelas. Entah dia suka makan atau nggak, pernah atau nggak, butuh atau nggak. We never know.. (gayaaa.. :D)

Penggunaan kadang-kadang juga (kadang-kadang) bertujuan untuk menyamarkan maksud. Kok? Yaiyalah, kalo dia ga jelas persisnya sering atau jarang, kadang-kadang lah jawaban andalannya. Hahaha

Udahlah,
Bisa gila awak hari ini oleh kadang-kadang pun.
Seharian bergelut dengan sering atau jarang. Ujungnya memilih kadang-kadang. Daripada ribet. Makanya bentuk 'ilmiah' dari 'riset kecil' bernilai pribadi ini adalah tulisan tulus konyol ini. Hahaha

Karena belum bisa menyatakan apakah aku sering atau jarang, makanya jadi :
"Sometimes I love you"

Wakakakak
Salam Kadang-Kadang


Rabu, 03 September 2014

Aku dan SABAK



Gue mulai bergabung dengan sekumpulan orang-orang yang dikenal dengan Mapala SABAK sejak tahun 2008. Sejak gue menjadi salah seorang mahasiswa kece dari jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Sriwijaya. Sebenarnya, gue udah berkecimpung dengan dunia kepecintaalaman sejak gue masih SMA, dan memutuskan menjadi Mapala adalah keputusan yang gue rasa mendadak.

Awal perkuliahan, gue udah memutuskan untuk enggan berkecimpung dengan dunia Mapala. Alasannya simple, gue-udah-pernah-didiksar-dan-gue-ga-mau-lagi. Seingat gue, dulu gue dikasih formulir pendaftaran sama salah seorang anggotanya, gue terima aja lalu gue simpan. Singkat cerita, gue tetep kekeuh untuk enggak mau terlibat dalam bentuk apapun tentang Mapala. Gue berusaha  ngehindar dari orang-orangnya. Sampai akhirnya, gue ga sengaja ketemu dengan Ketua Umum Mapala SABAK yang saat itu dipegang oleh Kak Rockend Roy. Saat itu beliau hanya bilang, “anak Sispala kok ga berani ikut Mapala? Cemen ah!.” Ketika denger itu, gue langsung ngerasa sedang mengalami serangan mental yang menjatuhkan, dan dengan tegas gue langsung jawab “Besok gue kembalikan surat formulir itu!”
Tahapan-tahapan diksar gue laluin bersama dengan 2 orang lainnya, yang bernama lapangan Kucil dan Kupret. Enggak mudah bagi kita bertiga untuk ngelakuin semuanya. Kita semua perempuan dan sanggup ngejalanin diksar hingga akhir. Saling support ketika bener-bener udah jenuh dengan keadaan yang terjadi selama diksar. They’re my soul…

Waktu berjalan tanpa malu-malu. Dan akhirnya gue sadar gue enggak bisa sepenuhnya lagi untuk berada di tengah-tengah hangatnya suasana sekret. Sampe sekarang, 2014, gue udah punya beberapa adik. Ada 5 angkatan di bawah gue. Dan untungnya gue masih bisa bercanda bareng mereka yang masih aktif. Gue yang dulu menjadi adik bungsu, sekarang sudah jadi kakak. Sudah saatnya bagi gue untuk enggak terlalu lagi mencampuri urusan adik-adik, mereka harus mandiri dan pastinya ga boleh malu-malu untuk berkreasi.

Selamat bergabung adik-adik baru, selamat berjuang untuk selalu bersama-sama mengharumkan SABAK kita. Kami di sini berbangga memiliki kalian. Menjelajahlah, kibarkan bendera SABAK di puncak-puncaknya!

Salam rindu,
17-090123/Azimuth

Rabu, 13 Agustus 2014

:)

Pelajaran berharga.
Aku hanya mengambil hikmah.
Ini tidak akan ku ulangi lagi.

Cukup sekian dan Terima Kasih.

Salam

Kamis, 24 Juli 2014

Matahari

Aku ingin
Menuju timur
Bersamamu
Merengkuh pagi

Aku ingin
Menuju barat
Bersamamu
Mendekati senja

Lebih dekat

Aku ingin
Mengajakmu
Mengejar matahari
Di kala pagi
Menggenggam
Atau
Meletakkannya di atas kepala

Aku ingin
Menarikmu
Berlari
Mengejar matahari
Di jingga-jingga bertuan
Agar
Senyummu tak hanya shepia

Aku ingin
Kita
Bersama
Meraih matahari
Dalam padang ilalang

Minggu, 15 Juni 2014

Cabik

Untuk apa?
Kau melamun pada dinding

Kau tampak membatasi
Membelakangi duniamu

Lalu kau menari
Tanpa gemulai

Kau pun belum melelap
Apa sebab gelap?

Kau terluka tanpa darah
Lalu
Mengapa tak marah?

Ahh, tak usahlah
Pasti menghalangimu merekah

Wahai mawar merah

Tak perlu kau merintih
Yang akan kau temu hanyalah letih

Lalu
Untuk apa lagi?
Kau meringis seperti tertusuk keris?

Sabtu, 22 Maret 2014

Wajah Musi

Salah satu sungai besar di Indonesia terletak di Sumatera Selatan yang bernama Sungai Musi. Sungai ini membelah kota Palembang menjadi dua bagian, yaitu seberang ulu dan seberang ilir. Dua bagian kota Palembang ini dihubungkan oleh Jembatan Ampera.

Sungai Musi yang melintas di tengah kota Palembang menjadi salah satu transportasi utama untuk menjangkau wilayah pelosok di Sumsel yang tidak ada jalur daratnya. Selain itu, air sungai Musi ini dikelola menjadi air bersih oleh PDAM Tirta Musi. Upaya meminimalisir limbah yang ada di sungai tengah direncanakan oleh BLH Provinsi dengan menggandeng Pemkot Palembang dan Australia. Rencananya akan diaakan pembangunan IPAL (Instalasi Pengelolaan Air Limbah) di pinggiran sungai.

Mengingat masih banyak masyarakat yang mengandalkan air hujan sebagai sumber air bersihnya, terutama mereka yang berada di pinggiran sungai. Sedangkan untuk MCK, mereka menggunakan air sungai. Ke depannya diharapkan adanya solusi tentang pengelolaan air berkelanjutan agar penyebaran air bersih dapat merata hingga ke pelosok.

Selamat Hari Air Sedunia.

Selasa, 25 Februari 2014

Realita abstrak

Hmm

Entah bagaimana faktanya bisa terjadi, yang harus aku lakukan adalah menerima, walau tak ku pinta.
Seperti kado.
Begitu rapi dibungkus.
Begitu cantik isinya.
Sayangnya,
Kado ini hanya untuk dipajang, bukan dipakai.

Ada pengamat, namun tak ku biarkan menganalisa.
Karena kado ini bukan untuk dipublikasikan.
Dan para tamu tak kan ku biarkan paham.
Bahkan kupu-kupu, sang indikator, pun terkulai lemas, seperti kehilangan hisapan di putik-putik.
Terlalu menyakitkan, bila makhluk secantiknya menyumbang air mata.

Biarkan ini jadi lukisan abstrak.
Cukup aku yang mampu baca alurnya.

Sementara ada satu sisi dimana aku harus meredam panjang semua nada.
Entah itu dengan notasi suka atau duka.
Yang ku lakukan hanya menekan tombol 'mute' untuk waktu yang belum ku tentukan.
Aku hanya memilih diam, berdamai.

Mungkin ini akan menjadi sesuatu yang harus aku lepaskan, ikhlaskan. (Lagi).